Pagi baru saja menjingga ketika bunyi shalawat pelan-pelan mengalun dari halaman Masjid Tua Wapauwe, Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Di antara desir angin dan embun yang belum sepenuhnya hilang, belasan pria berikat kepala, menggenggam erat sebatang kayu panjang yang teramat berharga: Tiang Alif baru.
Hari itu, Sabtu, 11 Oktober, bukan hari biasa bagi warga Negeri Kaitetu, sebuah kampung kecil yang terletak di pesisir utara Pulau Ambon. Di pelataran masjid berusia lebih dari enam abad itu, sejarah kembali ditulis dengan keringat, doa, dan mata yang basah.
Tiang Alif lama, yang telah berdiri kokoh selama sekitar 65 tahun, kini diganti. Usianya sudah renta, kayunya mulai rapuh. Namun, yang membuat peristiwa ini istimewa bukan hanya pada aspek fisiknya, melainkan pada makna yang terkandung di baliknya.
“Ini bukan sekadar mengganti tiang,” ujar seorang tua adat sambil membetulkan ikat kepalanya. “Ini mengokohkan ikatan dengan leluhur.”
Dari Hutan Manuala ke Puncak Masjid
Segalanya bermula lebih dari sebulan sebelumnya, ketika para tua adat menentukan jenis kayu yang akan digunakan. Mereka memilih pohon tertentu di Manuala, kawasan hutan sakral di Negeri Kaitetu. Pohon itu tidak ditebang begitu saja; ada ritual, ada doa, ada permohonan izin pada alam dan Sang Pencipta.
Setelah ditebang, kayu itu dibawa ke Baileo, pusat kehidupan adat, untuk diproses dengan tata cara yang telah diwariskan turun-temurun.
Dari situ, ia menempuh perjalanan simbolik menuju Masjid Wapauwe, masjid tertua di Maluku yang dibangun pertama kali pada 1414 Masehi oleh Perdana Jamilu, dan kemudian dipindahkan ke lokasi saat ini pada abad ke-17.
Masjid ini unik. Tak ada satu pun paku yang menyatukan kayu-kayunya. Semua sambungan hanya menggunakan pasak dan tali ijuk, sebuah bukti kejeniusan arsitektur lokal yang bertahan melawan waktu.
Lebih dari Tiang, Simbol Iman dan Persatuan
Pemasangan tiang dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Dua belas tukang adat ditugaskan mengangkat dan menegakkannya ke puncak masjid, diiringi lantunan kalimat tauhid dan shalawat.
Warga menyaksikan dalam keheningan yang penuh harap. Upu (raja), para tokoh agama, tua adat, hingga anak-anak, semua berkumpul menyatu dalam satu niat: menjaga warisan dan memohon berkah.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku, Abdullah Asis Sangkala, turut hadir dalam prosesi tersebut. Dalam sambutannya, ia menyebut momen itu sebagai pengingat tentang pentingnya merawat situs-situs sejarah.
“Ini bukan hanya soal bangunan, tapi soal jati diri. Kita harus bantu melestarikan peninggalan seperti Masjid Wapauwe agar tetap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku,” katanya.
Tiang Alif yang baru kini telah berdiri tegak di atas atap masjid, menjulang ke langit Kaitetu seperti doa yang tak henti dipanjatkan.
Sementara yang lama, setelah diturunkan, disimpan dengan penuh penghormatan, bukan sebagai sampah bangunan, melainkan pusaka yang tetap punya tempat dalam sejarah.


Semangat yang Tak Pernah Runtuh
Dalam setiap helai serat kayu Tiang Alif, tersimpan lebih dari sekadar sejarah. Ada semangat gotong royong, nilai keimanan, dan cinta mendalam terhadap warisan leluhur.
Ketika warga Kaitetu bergotong royong mendirikan tiang itu, mereka seakan sedang membangun kembali tiang-tiang keyakinan mereka sendiri, pada Tuhan, pada adat, dan pada kebersamaan.
Dari halaman Masjid Tua Wapauwe, dari negeri kecil bernama Kaitetu, sebuah pesan diam-diam dikirimkan ke seluruh penjuru negeri: bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk terus ditegakkan.
Dan seperti halnya Tiang Alif yang kini berdiri tegak di puncak masjid, warisan leluhur itu sesungguhnya tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk disentuh kembali dengan cinta, dengan hormat, dan dengan kesadaran bahwa masa lalu bukan beban, melainkan akar.
Di Kaitetu, iman tak hanya dipelajari lewat kitab, tapi juga lewat kayu yang dipilih dengan doa, lewat tangan yang bergotong royong, lewat alam yang diajak bicara, dan lewat langit yang terus dijaga dengan kesetiaan.
Karena bagi mereka, membangun tiang bukan hanya urusan tukang, ia adalah perkara menjaga arah. Arah hidup, arah hati, dan arah kembali.





